Meski Sesingkat Detik
Siang
itu gerimis membasahi bumiku yang gersang. Mulanya satu tetes, lalu ribuan. Dan
kini jadi hujan. Kutapaki jalanan yang basah itu dalam naungan payung. Meski
tak selebat tadi pagi, hawa dingin siang itu terasa menusuk tulang ini. Tiupan
angin di sepanjang jalan seakan berusaha menerbangkan tubuh mungilku bersama
payung yang meneduhiku. Aku terkejut ketika saat itu melihat sosok pria muda
seumuranku yang sepertinya sudah siap menerjunkan diri ke dalam jurang yang
berada di ujung sana. Aku mendekatinya.
“Hei..!!
Kenapa kau berada di situ? Kau mau bunuh diri? Kau mau cari mati? Sudah bosan
hidup?!!”, tanyaku pada pria itu. Tapi dia hanya terdiam. “Hei, apa kau tidak
mendengarku? Apa kau tuli??”, aku mulai membentaknya. Lalu ia mulai menoleh
padaku.
“Aku
hanya ingin mati secepatnya, aku sudah tak kuat lagi.” Dia mulai berbicara.
“Menjauhlah, jika tidak, kau juga akan ikut terjun bersamaku. Bukankah kau
masih ingin hidup..!!”
“Baiklah, mungkin kita bunuh diri bersama saja. Lumayan, mumpung ada teman. Jadi kalau nanti langsung dikirim malaikat ke neraka, setidaknya aku punya teman senasib”. Aku lemparkan payungku dan mengambil posisi yang sama seperti posisinya. Merentangkan kedua tangan dan memejamkan mata.
“Kau benar-benar gila!! Pergi sana!!” Dia menghardikku
dan mendorongku agar aku menjauh. Tapi naas, kakiku tersungkur, tubuhku
terpelanting hingga saat itu aku hanya berpegang pada akar pohon pinus. Jika
tanganku terlepas darinya, maka tubuhku akan terjun kedalam jurang yang curam
itu.
“Aaaa …….. tolong…..” aku berteriak sekeras mungkin, aku
tak dapat berkata lain selain itu. Tenggorokanku terasa tersumbat oleh ribuan
duri yang menancap didalamnya. Tubuhku terasa lemah tak berdaya. Aku hanya
memejamkan mata, beruntung, saat itu aku masih mengingat-ingat memori indah
bersama orang-orang tercinta. Dan disitu, aku melihat sosok ayah dengan amat
jelas. Sosok ayah yang selama ini aku benci.
“Ayo ……raih tanganku,……raih tanganku…..!!!” pria itu
berusaha mengulurkan tangannya padaku. Lalu kuraih tangannya, kupegang
tangannya erat-erat. Dia menarikku sekuat tenaga. Beruntung, ia berhasil
menarikku. Aku masih menutup mataku rapat-rapat. Aku ingin menguncinya dan
enggan membukanya lagi. Karena aku benar-benar ketakutan. Aku menangis didalam hujan. Pria itu merengkuh tubuhku erat
sekali. Panas tubuhnya menjalar, mengalir, menuju tubuhku, hangat. Kemudian aku
mendorongnya sekuat tenagaku yang masih tersisa.
”Apa yang kamu lakukan?!! Kau ingin membunuhku!!” aku
memukul- mukulnya. “Kau benar-benar gila!! Kau benar-benar gila!!”
“Maafkan aku, bukankah aku sudah menyuruhmu menjauh!”,
dia hanya terbelalak dan merasa bersalah.
Saat itu aku hanya terdiam. Mulutku terasa berat sekali
untuk berkata-kata. Hingga saat aku pulang, pria itu mengawalku di belakang
sambil meneduhiku dengan payung yang kulemparkan tadi. Mungkin, ia berharap aku
tak kehujanan. Hingga sampai didepan pagar rumahku, aku tak melontarkan sepatah
katapun padanya.
“Maafkan aku……” ia menatapku dalam-dalam, sepertinya
berharap agar aku memaafkannya. Tapi aku tetap terdiam. Ia menyodorkan payung
itu padaku. Kelihatannya dia menyerah untuk mengucap kata maaf. Kemudian ia
pergi.
***
Tiga
hari telah berlalu…
Pagi itu aku mendapati sepucuk surat beramlop biru
terselip di sela-sela bawah pintu rumahku. Terdapat tulisan dalam secarik kertas
Maafkan
aku, jika kau terus seperti itu padaku maka aku akan merasa terbebani. Aku
tidak bisa tenang. Mungkin untuk menebus kesalahanku, siang ini aku akan
mengajakmu ke suatu tempat. Aku akan menjemputmu. Pastikan kau ada waktu
untukku.
REVAND
Siang itu laki-laki
yang ternyata bernama Revand benar-benar menjemputku. Ia mengajakku ke taman
ria. Dan entah mengapa aku merasa harus ikut dia.
“Kita naik apa dulu..??” dia terlihat sangat bersemangat.
“Kenapa taman ria jadi sesuatu demi aku?!” aku
memandangnya heran.
“Oh ya, namamu siapa sih, dari tadi ngobrol tapi aku
belum tau juga namamu!!?” dia mlengos sambil garuk kepala terlihat ling lung.
“Rasya…” jawabku singkat.
“Baiklah Rasya, kita main sampai taman ria tutup!!” ia
menarik tanganku dan mengajakku menuju arena permainan komedi putar. Dia terlihat
lebih bersemangat dibanding kemarin, kali pertama aku bertemu dengannya. Entah
mengapa, aku tak ingin tahu banyak tentangnya. Hatiku yakin bahwa dia benar-benar
orang baik.
Siang itu, kami bersenang-senang, dan aku melupakan kisah
tragisku kemarin. Revand benar-benar berhasil menghipnotisku.
Ketika
kami mulai merasa kelelahan, kami mencari tempat duduk yang strategis untuk mengobrol.
Dia mulai membuka pembicaraan.
“Bagaimana hari ini? Apa kau menikmatinya?”
“Aku cukup menikmatinya”. Aku tersenyum. “Oh ya,
sebenarnya mengapa kau ingin bunuh diri?” tanyaku penasaran.
“ Aku sudah lelah hidup di dunia ini. Penyakitku sudah
tidak mungkin bisa disembuhkan lagi. Dokter telah memvonisku bahwa hidupku
sudah tak lama lagi. Dan saat itu juga kekasih yang amat aku cintai pergi
dengan selingkuhannya. Dan kini… satu-satunya orang yang aku punya hanyalah
ibu. Tapi akhir-akhir ini ibu sibuk sendiri dengan pekerjaannya.” Dengan wajah
yang murung dia merundukkan kepala.
“Aku turut prihatin dengan keadaanmu. Kalau aku boleh
tau, kamu sakit apa, vand?” aku melongo mengamatinya dari ujung kepala sampai
ujung kaki. “ Tapi kau tidak terlihat seperti orang yang sedang sakit!?” Aku
benar-benar kaget dan heran.
Dia hanya terdiam, lalu tiba-tiba dia tetawa. “Hahahaa…
kau percaya?!! Di bagian itu aku hanya bercanda!” ia mengacak-acak rambutku.
“Serius?!" aku merapikan rambutku lagi.
“Apa aku kelihatan berbohong?” tatapannya berusaha
meyakinkanku. Aku mengangguk tanda percaya.
“Lalu, ayahmu kemana?” Revand hanya terdiam. “ Oops..,
aku tidak bermaksud ikut campur urusanmu. Tapi…“
“ Sejak kecil aku tak pernah tau keberadaannya “ dengan
sigap ia memotong kalimatku. “Tapi tak mengapa, aku sangat ingin bertemu dengan
ayahku meski hanya sekejap. Aku ingin sekali dia tahu bahwa aku sangat
merindukannya. Selama nafas ini masih ada, aku akan selalu merindukannya, meski
mungkin dia sendiri tak pernah mengingatku”.
Terlihat ada kegelisahan yang cukup dalam terpeta pada wajah tirusnya.
Aku terbelalak, hatiku berdebar. Mengingat aku sendiri yang dipenuhi rasa benci
pada ayah, hanya karena ia jarang pulang ke rumah nenek untuk menemuiku. Hari
itu sontak timbul penyesalan dalam hati karena telah menganggap keliru ayahku
sendiri. Aku berdecak kagum pada pendirian Revand yang begitu kuat. Aku
tertunduk, merasa bersalah.
“ Udah, sore nih, Sya!!” ia membangunkanku dari lamunan.
“ Aku anter kamu pulang ya, tapi sebelum itu aku ingin mengambil potret kita
berdua. Buat kenang-kenangan. Heheee..” ia terlihat ling lung dan slah tingkah.
Ia mengambil handphone di sakunya lalu menjepretkan kameranya.
“Oh ya, bagaimana program permohonan maafku hari ini? Apa
aku sudah….“
“ Kau sukses, aku memaafkanmu!!” sahutku cepat.
Terpendar di raut wajahnya rasa gembira. Itu kali pertama
kami jalan bersama, tapi sepeti sudah kenal sejak lama. Apakah karena aku terlalu naif…??
***
Tiga hari tlah berlalu…
Tak ada lagi kabar tentang Revand. Tiap hari aku berharap
adanya secarik surat yang terselip di sela-sela bawah pintu rumahku. Tapi
kenyataan tak sesuai harapan. Beribu tanda tanya brputar-putar di benakku. Kemana dia sebenarnya? Apa dia benar-benar
telah pergi? Apa karna aku tlah memaafkannya maka ia tak muncul lagi dalam
hidupku? Kalau tahu begini seharusnya saat itu aku tak memaafkannya!! Akh…,
mengapa aku berpikir begitu. Aku benar-benar terombang-ambing oleh perasaanku
sendiri.
Seminggu, dua minggu, dan tiga minggu telah berlalu…
Kini aku telah melupakan kisah satu hariku bersama
Revand. Hari-hari aku isi dengan kesibukanku membuat skripsi, tugas akhir
semester masa kuliahku. Di tengah-tengah kesibukanku bersama laptop, tiba-tiba
nenek mengetuk pintu kamarku.
“Rasya, ada tamu buat kamu, keluar dulu gih!!”
Aku meninggalkan laptopku, keluar kamar dan menuruni
tangga menuju lantai bawah. Aku sontak kaget. Orang yang selama ini aku kira
telah menghilang tiba-tiba hadir kembali.
“Revand…?” aku terbelalak tak percaya. Saat itu aku lihat
ia memancarkan suasana berbeda dari sebelumnya. Seperti ada kesedihan mendalam
dalam dirinya. Kesedihan itu didukung dengan wajahnya yang pucat pasi.
“Hmm… maksud kedatanganku kesini hanya untuk menanyakan
kabarmu dan ingin mengajakmu ke suatu tempat.” Logatnya terasa canggung.
“Oww…ternyata kau masih mengingatku. Aku kira kau datang dan
tiba-tiba menghilang begitu saja seperti buih. Aku baik-baik saja. Tapi maaf
sebelumnya, karena hari ini aku sangat sibuk. Mungkin lain waktu saja!” aku menolaknya.
“Aku mohon, aku hanya butuh satu jam saja, tidak lebih
dari itu!!” raut wajahnya melukiskan sebuah harapan yang tinggi. Aku luluh
olehnya.
“Baiklah…, satu jam saja!!”
Ternyata lagi-lagi ia mengajakku ke taman ria. Tempat
yang penuh kenangan bersama Revand.
“Kenapa
harus tempat ini lagi?” aku menggerutu.
“Karena
tempat ini sangat indah.” Ia tersenyum lalu menarik tanganku menuju arena permainan
komedi putar. Mirip adegan beberapa minggu silam.
Setelah satu jam kami puas bemain, ia mengajakku duduk di
sebuah kursi panjang, tempat kami duduk sebelumya. “Tak terasa sudah satu jam.”
Ia telihat gelisah.
“Memangnya kenapa? Bukankah besok kita masih bisa ke sini
lagi? Akh.. kau begitu berlebihan.” Aku hanya mlengos, lalu tertawa.
“Tidak, karena aku akan segera pergi. Hari ini aku hanya
ingin berpamitan denganmu. Terimakasih kau telah hadir dalam hidupku. Meski
sesingkat detik, kau terasa begitu berharga. Setelah mengenalmu, aku merasa
bahwa kau adalah orang ke dua yang kupunya setelah ibu.”
Aku bergetar mendengar kata-katanya. Ku tatap lekat-lekat
sorot matanya ysng berkaca-kaca. Sorot itu membuat mataku berkaca-kaca pula.
Tak sengaja, setetes dua tetes butiran air keluar dari kelopak mataku. Mengalir
ke pipi, terjatuh mendarat di pangkuanku.
“Memangya kau mau pergi kemana? Katakan padaku!!” ku
pegang erat tangannya. Tapi dia enggan menjawab, dia hanya membalasnya dengan
senyuman, senyuman pahit.
“ Oh ya, aku ingin memberimu sesuatu sesuatu sebelum
keberangkatanku.” Ia merogoh saku celana jins yang dikenakannya. Tapi aku rasa
ia tak menemukan apa yang ia cari. “Aduh… maafkan aku… benda itu tertinggal!!”
ia menyesal.
Kemudian kami pulang naik taxi. Didalam taxi, aku melihat
Revan terus memegangi dadanya seraya sesekali batuk.
“Uhuk……
uhuk”
“Revand,
kau tidak apa-apa?” aku terbalalak khawatir.
“Aku
baik-baik saja.” Lalu ……”Uhuk….uhuk” dia memuntahkan darah. Itu memebuatku
sangat panik. Lalu aku menyuruh sopir taxi menuju RS terdekat. Revand terbaring
lemah dipangkuanku.
“Revand, sebenarnya kau kenapa?” aku terbelalak panik.
“Aku mengidap penyakit jantung sejak kecil. Aku tidak
ingin kau tau. Tapi mungkin karena ini adalah hari terakhirku, aku mengatakan
ini. “dia berusaha berbicara meski sepertinya sudah merasa kesulitan.
“terimakasih atas satu jam yang lalu yang telah kau luangkan untukku. A
…….aku…..a……akan…….sla…..slalu…..me….nge….nang…mu…..!!!” mata indah itu
perlahan menutup, hembusan nafasnya perlahan hilang, mungkin habis, bersatu
dengan udara.
Kupanggil namanya sekuat tenaga. “Revand… bangun!”
bukankah kau masih ingin tau siapa ayahmu? Bukankah kau masih ingin
menghabiskan sore di taman ria bersamaku? Bukankah kau masih….?” Aku benar-
benar tak sanggup lagi berkata- kata. Tenggorokanku tersumbat oleh beribu
ketakutan. Ketakutan kehilangan Revand. Dan kusadari saat itu, bahwa Revand
telah tiada.
***
Di pemakaman…..
Hari itu bumi mendadak ringan namun langit berubah hitam.
Seakan ikut berduka atas kepergian Revand. Meski perjumpaan kami sesingkat
detik, aku sangat merasa bahwa dia begitu berarti. Dia memberiku suatu tauladan
tersendiri. Tiba- tiba ditengah ratapanku, ada suara wanita separuh baya
memanggil namakudari kejauhan.
“Rasya….” Tiba- tiba suara itu merasa semakin mendekat. “benarkah
kau yang bernama Rasya?” wanita itu menatapku dengan penuh rasa penasaran.
“Ia
tante.” Jawabku singkat sembari menyapu air mata dipipi.
“Aku
adalah ibu Revand. Aku hanya ingin memberikan ini padamu. Sepertinya ini
untukmu. Revand lupa membawanya ketika terakhir kali keluar rumah, mungkin
untuk menemuimu.” Setelah menyodorkan amlop berwarna biru itu padaku, ibu
Revand langsung pergi meninggalkanku.
Kubuka
amlop itu, tak kudapati surat didalamnya. Melainkan selembar kertas HVS dengan
goresan sketsa dipermukaannya. Sketsa itu adalah foto kami berdua ketika
berfoto bersama ditaman ria. Tertulis dibawah sketsa ….
Sketsa
untuk Rasya. Rasya dan
Revand.
Tangisku semakin meluap. Terimakasih Revand, kau telah
hadir didalam sepenggal episode hidupku. Kau juga begitu berharga bagiku.
Selamat jalan Revand…. Aku akan selalu mengenangmu….!