InsKreaSi: Jalan Terbaik

Jalan Terbaik




Cahaya menerobos masuk melalui ventilasi udara membentuk siluet kecil dalam ruangan berukuran tak lebih dari ukuran lostmen. Di sana terdapat satu set ranjang lengkap dengan almari, dengan salib tertempel di antara dinding yang mengapit. Sesosok tubuh mungil, dengan rambut terurai terpekur di ujung ranjang dengan kedua tangan merapat, mendekap dada dan kepala tertunduk. Menyiarkan senandung harap dengan penuh khidmat. 

“Tuhan aku mencintai seseorang yang tak mungkin aku milik, seseorang yang telah memberikan bahagia dalam hari-hariku. Kadang aku membencinya, namun beberapa saat kemudian aku luruh, entah apa yang dia miliki hingga membuat diri yang semula kosong terasa begitu bermakna. Tuhan apakah aku salah membiarkan tanah gersang disirami air suci yang bukan dari-Mu? Membiarkan tanah lain menyebar benih-benih ketenangan tanpa seizin dari-Mu. Aku menyukainya melebihi dengan apa yang aku bayangkan. Ijinkan aku untuk memelihara perasaan ini sampai tiba saatnya aku pergi, dan benar-benar merelakannya pudar bersama penglihatan ini”. 

Perlahan matanya terbuka, mengeluarkan bulir-bulir air yang tertahan selama khidmat dalam do’a, sementara di tempat lain, sosok tambun terduduk di atas sajadah yang tergelar, menengadah kedua tangan dengan uraian tasbih di tangan kanannya, menitikkan air mata tatkala serpihan do’a terucap di bibirnya.

“Ya Allah aku telah mencintai salah satu dari makhluk yang telah Engkau ciptakan, seorang hawa yang seharusnya tidak aku cintai. Apakah salah membiarkan cinta ini membuncah dalam kesederhanaan iman yang aku miliki terhadap Mu?? Membiarkan bulir-bulir cinta mengalir sementara dzikir bergema di antara kidung do’a. apa yang bisa aku lakukan agar rasa cinta ini tidak melebihi cintaku terhadap Mu?. Berikanlah petunjuk-Mu, agar aku tak pernah salah mengambil keputusan, ridho Mu adalah jalanku mewujudkannya. Di tempat yang berbeda keduanya bermuhasabah untuk cinta yang dirasakannya, dengan caranya masing-masing. Mengarungi seperempat malam dengan panjatan do’a dan linangan air mata. Cahaya perlahan redup dan keheningan membiarkan keduanya tenggelam dalam doanya masing-masing.

-----

Semilir angin mengibaskan dedaunan yang saling menyapa. Di keheningan malam aku berjalan sendiri, mengacuhkan setiap tatapan meremehkan dari beberapa pasang mata. Hanya bisa menunduk tanpa berfikir untuk mendongak dan menatap tajam setiap mata yang mencoba menghujam. Melangkah dengan perlahan sampai akhirnya tiba di depan katedral dengan arsitektur bergaya gotik. Setiap inci bangunannya memberikan kesan kuno. Aku masuk kedalamnya dengan perasaan rindu yang membuncah, yang hanya bisa aku rasakan ketika lidah terlalu  kaku untuk berbicara kepada sesama makhluk.

Kursi-kursi memanjang berjejer menghadap mimbar Tuhan Yesus yang tersalib abadi di depan sana. Aku berjalan dengan mantap sampai akhirnya tiba di depan altar, tempat semua do’a dan harapan tercurah. Mataku tak pernah bosan melihat ornamen-ornamen yang ada di setiap sudut gereja, namun entah mengapa, perasaan itu tak  begitu kurasakan lagi. Ku topangkan tangan pada altar seraya menyeru dalam hati.

“Tuhan apakah kini aku sudah terlampau jauh dari Mu. Mengacuhkan Mu hanya karena makhluk Mu yang sudah berhasil menjungkir-balikkan perasaan ini? Kenapa aku tak pernah lagi mendapat ketenangan ketika senyap menyelimuti relung ini. Kini aku merasa iba pada diriku sendiri. Aku meyakini Engkau adalah Tuhan ku, tapi entah kenapa keyakinan itu perlahan condong, dia telah menjungkir-balikkan perasaan ini telah membuka beberapa tabir yang tanpa kusadari memiliki kebenaran yang sinkron dengan rasio. Tak ada pemaksaan dalam hal ini, namun aku merasa setiap kata-katanya seolah penyejuk ditengah kobaran ambisi dan rasa frustasi”.

“ Tuhan, apakah aku terperdaya? Tapi entah mengapa perasaanku lain, seolah anak kecil yang berteriak setelah sekian lama terbelenggu, terkurung dalam ruangan tak kasat mata. Tuhan aku menginginkan kebenaran, tunjukkanlah bahwa aku tak salah jalan. Aku menyayangi orang yang telah menjungkir-balikkan perasaan ini. Jadikanlah dia imam ku atas berkat Mu. Jika memang harus ku lepaskan keyakinan ku terhadap Mu bukan berarti aku lari dari Mu. Aku meyakini kau tak sekedar pajangan dalam ruangan, tapi aku meyakini Kau pemilik disetiap ruang di alam raya. Terimakasih kau telah tunjukkan terang dalam gelap”.

“Tuhan aku tak pernah merasa keberatan apabila aku dicap sebagai seorang pendosa. Karena nuraniku berkata kebenaran hakiki bisa didapat ketika kita mendengarkan kata hati. Aku mengagumi orang yang telah menjungkir-balikkan perasaan ini, tapi bukan karena hal tersebut aku goyah. Aku meyakini bahwa dia adalah petunjuk yang Engkau berikan kepadaku, untuk meyakini apa yang seharusnya diyakini.”

“Tuhan aku bahagia telah mengenalMu. Terimakasih atas segala berkat dan karunia yang sudah Kau berikan selama aku menapaki jalan hidup”

Ku buka mata dengan perlahan, memandang sayu kearah depan seraya tersenyum.
“aku mencintainya seperti aku mencintai titah Mu”

Aku bangkit dengan perasaan ringan seraya memandang sekeliling dengan penuh takjub.
“Kini aku mengagumi bangunan ini sebagai warisan leluhurku dengan segala ke agungan dan keindahanya. Aku sudah mendapatkan jalan terbaik untuk hidupku. Tapi bukan berarti aku lupa pernah mengenal-Mu”.

TAMAT

By: Evitta X PIBB (2013-2014)
Copyright © InsKreaSi Urang-kurai